Senin, 05 Maret 2012

Praktik Keperawatan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Praktik keperawatan di Indonesia sering kali diasumsikan sama dengan praktik kedokteran, baik oleh masyarakat atau perawat itu sendiri. Penyebab utama hal ini adalah kurangnya pengetahuan tentang praktik keperawatan profesional dan seringkali dilatarbelakangi oleh motif ekonomi yang menjadikan praktik tersebut sebagai lahan bisnis. Upaya untuk tetap dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru merupakan hal yang yang menarik dan menantang. Upaya ini tidak hanya menyangkut pembenahan kualitas praktik keperawatan tetapi juga pembenahan aspek hukum yang melindungi perawat sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan dan masyarakat yang menerima layanan kesehatan.
Sesuai Surat Keputusan Menteri Negara Perdagangan Aparatur Negara Nomor 94/MENPAN/1986, tanggal 4 November 1986, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tenaga perawatan adalah pegawai negeri sipil yang berijazah perawatan yang diberi tugas secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pada unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dan unit pelayanan kesehatn lainnya), (dikutip dari Priharjo, 1995).
Menurut Lokakarya Keperawatan Nasional tahun 1983, definisi keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif (dikutip oleh Priharjo, 1995). Pelayanannya juga ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia.
Setelah meninjau beebrapa pengertian perawat, keperawatan, dan tenaga profesional di atas, pengertian dari praktik keperawatan profesional yang dilakukan oleh seorang registered professional nurse didefinisikan sebagai penegakkan diagnosa dan penanganan respons manusia terhadap masalah kesehatan aktual atau potensial melalui pelayanan seperti penemuan masalah, pendidikan kesehatan, dan memberikan perawatan untuk meningkatkan atau memulihkan hidup atau kesehatan, dan melakukan penanganan medis sesuai yang dipesan oleh dokter yang sah ( American Nursing Association dalam Priharjo, 1995). Suatu penanganan keperawatan harus konsisten dengan tidak boleh menyimpang dari penatalaksanaan medis.
Dan di Era globalisasi dan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan menuntut perawat, sebagai suatu profesi, memberi pelayanan kesehatan yang optimal. Indonesia juga berupaya mengembangkan model praktik keperawatan profesional (MPKP). Dengan pengembangan MPKP, diharapkan nilai profesional dapat diaplikasikan secara nyata, sehingga meningkatkan mutu asuhan dan pelayanan keperawatan.
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Praktik Keperawatan?
2.      Apa Standart Praktik Keperawatan?
3.      Apa Peranan Legal Praktik Keperawatan?
1.3  TUJUAN
1.3.1        Tujuan Umum
Untuk mengetahui Praktik Keperawatan Profesional
1.3.2    Tujuan Khusus
1.      Perawat dapat mengetahui tentang pengertian, klasifikasi, serta makna praktik keperawatan yang benar.
2.      Perawat dapat mengaplikasikan praktik keperawatan.
3.      Perawat dapat memberikan perubahan untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan.
1.4  MANFAAT
1.4.1        Bagi Institusi
1.         Digunakan sebagai buku bacaan di perpustakaan agar bisa bermanfaat bagi    para pembaca.
2.         Sebagai bahan bandingan persepsi tentang Praktik Keperawatan.
1.4.2        Bagi Profesi
1.      Perawat lebih mengetahui praktik keperawatan yang benar.
2.      Perawat lebih memahami tentang pengaplikasian praktik keperawatan di masyarakat.
1.4.3        Bagi Penyusun
1.      Sebagai ilmu pengetahuan tentang praktik keperawatan.
2.      Lebih tahu ,tentang isi dari paraktik keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Praktik Keperawatan
            Menurut Kusnanto, (2004) Perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan melindungi, yang merawat orang sakit, luka dan usia lanjut (Ellis, Harley, 1980).
Peran perawat adalah menjaga pasien mempertahankan kondisi terbaiknya terhadap masalah kesehatan yang menimpa dirinya (Florence Nigthingale dalam bukunya What it is and What it is not).
            Menurut Sitorus, (2006) Keperawatan adalah fungsi unik dari perawat membantu individu sakit atau sehat dalam melaksanakan segala aktivitasnya untuk mencapai kesehatan atau untuk meninggal dunia dengan tenang yang dapat dapat ia lakukan sendiri tanpa bantuan apabila cukup kekuatan, harapan dan pengetahuan (Virginia Handerson, 1958). Perawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang di dasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spritual yang komprehensif serta di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia (Lokakarya keperawatan Nasional, 1986). Praktik keperawatan berarti membantu individu atau kelompok dalam mempertahankan atau meningkatkan kesehatan yang optimal sepanjang proses kehidupan dengan mengkaji status, menentukan diagnosa, merencanakan dan mengimplementasi strategi keperawatan untuk mencapai tujuan, serta mengevaluasi respon terhadap perawatan dan pengobatan (National Council of State Board of Nursing/NCSBN).
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui kerjasama berbentuk kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan atau sesuai dengan lingkungan wewenang dan tanggung jawabnya. (Nursalam,M.Nurs, 2002).
Jadi praktek klinik keperawatan adalah tindakan mandiri yang dilakukan mahasiswa keperawatan di rumah sakit melalui kerjasama berbentuk kolaburasi dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan atau sesuai dengan lingkungan wewenang dan tanggung jawabnya.

2.2 Standart Praktik Keperawatan
2.2.1 Pengertian
            Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, praktik keperawatan adalah tindakan pemberian asuhan perawat profesional baik secara mandiri maupun kolaborasi, yang disesuaikan dengan lingkup wewenangdan tanggung jawabnya berdasarkan ilmu keperawatan. Standar praktek keperawatan adalah batas ukuran baku minimal yang harus dilakukan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktek keperawatan ini digunakan untuk mengetahui proses dan hasil pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien sebagai fokus utamanya. (Ali, 2001).
Praktik keperawatan profesional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.        Otonomi dalam pekerjaan
2.        Bertanggung jawab dan bertanggung gugat
3.        Pengambikan keputusan yang mandiri
4.        Kolaborasi dengan disiplin lain
5.        Pemberian pembelaan
6.        Memfasilitasi kepentingan pasien.
2.2.2 Klasifikasi
1. Perawat dan Pelaksana Praktek Keperawatan
Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standart praktek keperwatan untuk mencapai kemampuan yang sesuai dengan standart pendidikan Keperawatan. Perawat sebagai anggota profesi, setiap saat dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standart profesi keperawatan.
2. Nilai-nilai Pribadi dan Praktek Profesional
Adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi pada ruang lingkup praktek keperawatan dan bidang teknologi medis akan mengakibatkan terjadinya peningkatan konflik antara nilai-nilai pribadi yang memiliki perawat dengan pelakasana praktek yang dilakukan sehari-hari, selain itu pihak atasan membutuhkan bantuan dari perawat untuk melaksanakan tugas pelayanan keperawatan tertentu, dilain pihak perawat mempunyai hak untuk menerima atau menolak tugas tersebut sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.


2.2.3 Standart Praktik Keperawatan
Karena keperawatan telah meningkat kemandiriannya sebagai suatu profesi, sejumlah standar praktek keperawatan telah ditetapkan. standar untuk praktek sangat penting sebagai petunjuk yang obyektif untuk perawat memberikan perawatandan sebagai kriteria untuk melakukan evaluasi asuhan ketika standar telah didefinisikan secara jelas, klien dapat diyakinkan bahwa mereka mendapatkan asuhan keperawatan yang berkualitas tinggi, perawat mengetahui secara pasti apakah yang penting dalam pemberian askep dan staf administrasi dapat menentukan apakah asuhan yang diberikan memenuhi standar yang berlaku.
1.        Standar Canadian Nurses Association, untuk praktek keperawatan:
1)     Praktik keperawatan memerlukan model konsep keperawatan yang menjadi dasar praktek
2)   Praktik keperawatan memerlukan hubungan yang saling membantu untuk menjadi dasar interaksi antara klien-perawat
3)   Praktik keperawatan menuntut perawat untuk memenuhi tanggung jawab profesi
2.        Standar Praktek Keperawatan Klinik Dari Ana
1)          Standart Perawatan
Menguraikan tingkat asuhan keperawatan yang kompeten seperti yang diperlihatkan oleh proses keperawatan yang mencakup semua tindakan penting yang dilakukan oleh perawat dalam memberikan perawatan dan membentuk dasar pengambilan keputusan klinik:
a.       Pengkajian: Perawat mengumpulkan data kesehatan pasien
b.      Diagnosa: Perawat menganalisis data yang diperoleh melalui pengkajian untuk menentukan diagnosa
c.       Identifikasi hasil: Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan secara individual pada pasien
d.      Perencanaan: Perawat membuat rencana perawatan yang memuat intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan
e.       Implementasi: Perawat mengimplementasikan intervensi-intervensi yang telah diidentifikasi dalam rencana perawatan
f.       Evaluasi: Perawat mengevaluasi kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil
2)        Standar Kinerja Profesional
a.       Kualitas perawatan: perawat secara sistematis mengevaluasi kualitas dan keefektifan praktik keperawatan
b.      Penilaian kinerja: Perawat mengevaluasi praktik keperawatan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan standar-standar praktik profesional dan negan peraturan yang relevan
c.       Pendidikan: Perawat mendapatkan dan mempertahnkan pengetahuan sekarang dalam praktik keperawatan
d.      Kesejawatan: Perawat memberikan kontribusi pada perkembangan profesi dari teman sejawat, kolega dan yang lainnya
e.       Etik: Keputusan dan tindakan perawat atas nama pasien ditentukan dengan cara etis
f.       Kolaborasi: Perawat melakukan kolaborasi dengan pasien, kerabat lain, dan pemberi perawatan kesehatan dalam memberikan perawatan pada pasien
g.      Riset: Perawat menggunakan temuan riset dalam praktik
h.      Penggunaan sumber: Perawat mempertimbangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan keamanan.
2.2.4 Manfaat Standart Praktik Keperawatan
            Menurut Ismani, (2001) terdiri dari:
1.        Praktek Klinis
Memberikan serangkaian kondisi untuk mengevaluasi kualitas askep dan merupakan alat mengukur mutu penampilan kerja perawat guna memberikan feeedbeck untuk perbaikan.
2.        Administrasi Pelayanan Keperawatan
Memberikan informasi kepada administrator yang sangat penting dalam perencanaan pola staf, program pengembangan staf dan mengidentifikasi isi dari program orientasi.
3.        Pendidikan Keperawatan
Membantu dalan merencanakan isi kurikulum dan mengevaluasi penampilan kerja mahasiswa.
4.        Riset Keperawatan
Hasil proses evaluasi merupakan penilitian yang pertemuannya dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas askep.
5.        Sistem Pelayanan Kesehatan
Implementasi standar dapat meningkatkan fungsi kerja tim kesehatan dalam mengembangkan mutu askep dan peran perawat dalam tim kesehatan sehingga terbina hubungan kerja yang baik dan memberikan kepuasan bagi anggota tim kesehatan.
2.2.5 Lisensi Praktik
            Badan yang berwenang memberikan lisensi berhak dan bertanggung jawab terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh praktisi yang melakukan pelanggaran etis. Hukum atau undang-undang tidak mengidentifikasi mutu kinerja, akan tetapi akan menjamin keselamatan pelaksanaan standar praktik keperawatan secara minimal.
Undang-Undang kesehatan RI No.23 tahun 1992, Bab V Pasal 32 ayat 2 dan 3 menyebutkan:
Ayat 2:
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.
Ayat 3:
Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggung jawabkan.
Isi undang-undang tersebut, dapat diartikan bahwa lisensi sangat diperlukan oleh perawat profesional dalam melakukan kegiatan praktik secara brtanggung jawab. Pengertian lisensi adalah kegiatan administrasi yang dilakukan oleh profesi atau departemen kesehatan berupa penerbitan surat ijin praktek bagi perawat profesional diberbagai tatanan layanan kesehatan. Lisensi diberikan bagi perawat sesuai keputusan menteri kesehatan RI No.647/Menkes/SK/IV/2000 tentang registrasi dan praktik perawat.
Whasington State Nursing Practice Act(The State Nurses Association) menyatakan bahwa orang yang terdaftar secara langsung bertanggung gugat dan bertanggung jawab terhadap individu untuk memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas. American nurse Association(ANA) membuat pernyataan yang sama dalam undang-undang lisensi institusional menjadi lisensi individual, keperawatan secara konsisten dapat mempertahankan:
1.      Asuhan keperawatan yang berkualitas, baik sesuai tanggung jawab maupun tanggung gugat perawat yang merupakan bagian dari lisensi profesi.
2.      Bila perawat meyakini bahwa profesi serta kontribusinya terhadap asuhan kesehatan adalah penting, maka mereka akan tampil dengan percaya diri dan penuh tanggung jawab.
2.3 Peranan Legal Praktik Keperawatan
Menurut Robert, (2008) tentang Legal praktik keperawatan, yaitu:
2.3.1 Pengertian Legal
Legal adalah sesuatu yang di anggap sah oleh hukum dan undang-undang.
2.3.2 Dimensi Legal dalam Keperawatan
Perawat perlu tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya untuk:
1.    Memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang di lakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum
2.    Melindungi perawat dari liabilitas (penghambat).
2.3.3 Perjanjian atau kontrak dalam perwalian
Kontrak mengandung arti ikatan persetujuan atau perjanjian resmi antara dua atau lebih partai untuk mengerjakan atau tidak sesuatu. Dalam konteks hukum, kontrak sering disebut dengan perikatan atau perjanjian.
Perikatan artinya mengikat orang yang satu dengan orang lain. Hukum perikatan diatur dalam UU hukum Perdata pasal 1239 " Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termatub dalam bab ini dan bab yang lalu." Lebih lanjut menurut ketentuan pasal 1234 KUHPdt, setiap perikatan adalah untuk memberikan, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Perikatan dapat dikatakan sah bila memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (Consencius)
2.      Ada kecakapan terhadap pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity)
3.      Ada sesuatu hal tertentu ( a certain subjec matter) dan ada sesuatu sebab yang halal (Legal Cause) (Muhammad 1990).
4.      Kontrak perawat-pasien dilakukan sebelum melakukan asuhan keperawatan.
5.      Kontrak juga dilakukan sebelum menerima dan diterima di tempat kerja
6.      Kontrak perawat-pasien digunakan untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak yang bekerja sama
7.      Kontrak juga untuk menggugat pihak yang melanggar kontrak yang di sepakati
2.3.4 Batas Tanggung Jawab dalam Keperawatan
1.        Menjalankan Pesan Dokter
Menurut Becker (Dalam Kozier,Erb 1990) empat hal yang harus di tanyakan perawat untuk melindungi mereka secara hukum:
1)      Tanyakan pesanan yang ditanyakan pasien
2)      Tanyakan setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah
3)      Tanyakan dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan komunikasi.
4)      Tanyakan pesanan (Standing Order), bila perawat tidak berpengalaman.
2.        Melaksanakan Intervensi Keperawatan Mandiri atau yang di Delegasi
Dalam Melaksanakan intervensi keperawatan perawat memperhatikan beberapa prekausa:
1)        Ketahui pembagian tugas ( Job Deskription) mereka
2)        Ikuti kebijakan dan prosedur yang di tetapkan di tempat kerja
3)        Selalu identifikasi pasien, terutama sebelum melaksanakan intervensi utama.
4)        Pastikan bahwa obat yang benar di berikan dengan dosis, rute, waktu dan pasien yang benar.
5)        Lakukan setiap prosedur secara tepat
6)        Catat semua pengkajian dan perawatan yang di berikan dengan cepat dan akurat.
7)        Catat semua kecelakaan yang mengenai pasien
8)        Jalin dan pertahankan hubungan saling percaya yang baik (rapport) dengan pasien.
9)        Pertahankan kompetisi praktik keperawatan.
10)    Mengetahui kekuatan dan kelemahan perawat.
11)    Sewaktu mendelegasikan tanggung jawab keperawatan, pastikan bahwa orang yang diberikan delegasi tugas mengetahui apa yang harus di kerjakan dan orang tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang di butuhkan.
12)    Selalu waspada saat melakukan intervensi keperawatan dan perhatikan secara penuh setiap tugas yang di laksanakan.
2.3.5 Berbagai Aspek Legal Dalam Keperawatan
Menurut Kozier,Erb dikutip Robert (2008) Fungsi Hukum Dalam Praktek Keperawatan, antara lain:
1.    Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum
2.    Membedakan tanggung jawab perawat dengan tanggung jawab profesi yang lain
3.    Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
4.    Membantu dalam mempertahankan standar praktik keperawat dengan meletakan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum.
2.3.6 Perlindungan Legal Untuk Perawat
Untuk menjalankan praktiknya secara hukum perawat harus di lindungi dari tuntutan malpraktik dan kelalaian pada keadaan darurat, Contoh:
1.      UU di A.S yang bernama Good Samaritan Acts yang memberikan perlindungan tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan pada keadaan darurat.
2.      Di Kanada terdpt UU lalu lintas yang memperbolehkan setiap orang untuk meolong korban pada setiap situasi kecelakaan yang bernama Traffic Acrt.
3.      Di Indonesia UU Kesehatan No 23 tahun 1992.


Rabu, 08 Februari 2012

Asuhan Keperawatan Sosial Lansia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG
Peningkatan penduduk lansia pada dasarnya merupakan dampak positif dari pembangunan. Pembangunan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menurunkan angka kematian dan meningkatkan usia harapan hidup. Namun, disisi lain pembangunan secara tidak langsung juga berdampak negatif melalui perubahan nilai-nilai dalam keluarga yang berpengaruh kurang baik terhadap kesejahteraan lansia. Lansia sering kehilangan pertalian keluarga yang selama ini diharapkan. Perubahan yang terjadi juga menyebabkan berkurangnya peran dan status lansia dalam keluarga. Selain itu juga mulai terlihat hilangnya bentuk - bentuk dukungan keluarga terhadap lansia (Junaidi, 2007). Penduduk lansia di Indonesia tahun 2006 sebesar 19 juta jiwa, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, tahun 2010 diperkirakan jimlah lansia sebesar 23,9 juta jiwa dengan usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 jumlah lansia diperkirakan sebesar 28,8 juta jiwa dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Peningkatan jumlah penduduk lansia disebabkan oleh tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, kemajuan dibidang pelayanan kesehatan dan tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat (MENKOKESRA, 2007).
Meningkatnya jumlah lansia membutuhkan penanganan yang serius karena secara alamiah lansia itu mengalami kemunduran baik dari fisik, biologis, maupun mentalnya. Hal ini tidak terlepas dari masalah ekonomi, sosial dan budaya sehingga perlu adanya peran serta dan dukungan dari keluarga dalam penanganannya. Menurunnya fungsi berbagai organ, lansia menjadi rentan terhadap penyakit yang bersifat akut atau kronis. Ada kecenderungan terjadi penyakit degeneratif dan penyakit metabolik (Nugroho, 2000).
Selain penyakit degeneratif, masalah psikologis merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kehidupan lansia, diantaranya adalah: kesepian, keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas, peran dan partisipasi sosial (Partini, 2002).
Permasalahan yang dihadapi lansia memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan masalah ini disebut dengan mekanisme koping. Koping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh tekanan. Koping merupakan reaksi terhadap tekanan yang dibutuhkan lansia untuk memecahkan, mengurangi, dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Hawari, 1997).
Dukungan sosial bagi lansia sangat diperlukan selama lansia masih mampu memahami makna dukungan sosial tersebut sebagai penyokong atau penopang kehidupannya. Namun dalam kenyataanya ada sebagian lansia yang mampu memahami dan memanfaatkan dukungan sosial dengan optimal dan ada pula lansia yang kurang mampu memahami adanya dukungan sosial dari orang lain, sehingga meskipun ia telah menerima dukungan sosial tetapi masih saja menunjukkan adanya ketidakpuasan, yang ditampilkan dengan perilaku yang maladaptif seperti, kecewa, kesal dan perilaku menyimpang lainnya (Kuntjoro, 2002).
Dukungan sosial dari keluarga merupakan segala bentuk perilaku dan sikap positif yang diberikan keluarga kepada salah satu anggota keluarga yang lansia. Dukungan keluarga memegang peranan penting dalam menentukan bagaimana mekanisme koping yang akan ditunjukkan oleh lansia. Adanya dukungan dari keluarga dapat membantu lansia menghadapi masalahnya. Dari permasalahan tersebut penyusun akan membahas dalam makalah ini dengan batasan pengertian Sosial, peran sosial lansia, dan asuhan keperawatan terkait masalah sosial lansia.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan masalah-masalah berikut ini :
1.Apa pengertian sosial?
2.Bagaimana peran sosial lansia?
3.Apa masalah Kesehatan Jiwa Lansia?
4.Apa Faktor yang Memepengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia?
5.Bagaimana asuhan keperawatan sosial lansia?
1.3    TUJUAN PENULISAN
1.3.1        Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan lansia dari aspek sosial
1.3.2        Tujuan Khusus
1.    Agar penyusun lebih mengetahui tentang peran sosial lansia.
2.    Semoga makalah ini bisa dijadikan bahan referensi yang terkait mengenai askep lansia.
3.    Sebagai bahan belajar dan pengetahuan tentang penanganan lansia dalam lingkungan sosial.
4.    Mahasiswa lebih mengetahui masalah kesehtan jiwa kesehatan lansia.

1.4    MANFAAT
1.4.1        Bagi Institusi
1.    Digunakan sebagai buku bacaan di perpustakaan agar bisa bermanfaat bagi    para pembaca.
2.    Sebagai bahan bandingan persepsi tentang masalah yang menyertai lansia.
1.4.2        Bagi Profesi
1.     Perawat lebih mengetahui penanganan sosial lansia.
2.  Perawat lebih memahami tentang penatalaksanaan dan asuhan keperawatan lansia dari aspek sosial.
1.4.3        Bagi Penyusun
1.    Sebagai ilmu pengetahuan tentang masalah yang dihadapi lansia.
2.    Lebih tahu ,tentang permasalahan yang dialami lansia di lingkungan sosial.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sosial
2.1.1 Sosial
Sosial dapat berarti kemasyarakatan. Sosial adalah keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain. Kehadiran itu bisa nyata anda lihat dan anda rasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap anda bertemu orang meskipun hanya melihat atau mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial. Begitu juga ketika anda sedang menelpon, atau chatting (ngobrol) melalui internet. Pun bahkan setiap kali anda membayangkan adanya orang lain, misalkan melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman, membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di depan orang, semuanya itu termasuk sosial. Sekarang, coba anda ingat-ingat situasi dimana anda betul-betul sendirian. Pada saat itu anda tidak sedang dalam pengaruh siapapun. Bisa dipastikan anda akan mengalami kesulitan menemukan situasinya. Jadi, memang benar kata Aristoteles, sang filsuf Yunani, tatkala mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, karena hampir semua aspek kehidupan manusia berada dalam situasi sosial.
 Sosial disini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya.

2.1.2 Interaksi Sosial
 Interaksi sosial adalah keadaan dimana seseorang melakukan hubungan saling berbalas respon dengan orang lain. Aktivitas interaksinya beragam, mulai dari saling melempar senyum, saling melambaikan tangan dan berjabat tangan, mengobrol, sampai bersaing dalam olahraga. Termasuk dalam interaksi sosial adalah chatting di internet dan bertelpon atau saling sms karena ada balas respon antara minimal dua orang didalamnya.
 Berdasarkan sifat interaksi antara pelakunya, interaksi sosial dibedakan menjadi dua, yakni interaksi yang bersifat akrab atau pribadi dan interaksi yang bersifat non-personal atau tidak akrab. Dalam interaksi sosial akrab terdapat derajat keakraban yang tinggi dan adanya ikatan erat antar pelakunya. Hal itu mencakup interaksi antara orangtua dan anaknya yang saling menyayangi, interaksi antara sepasang kekasih, interaksi antara suami dengan istri, atau interaksi antar teman dekat dan saudara.
 Sebagian besar interaksi sosial manusia adalah interaksi sosial tidak akrab. Umumnya interaksi dalam situasi kerja adalah interaksi tidak akrab. Termasuk juga ketika anda mengobrol dengan orang yang baru saja anda kenal, interaksi antar sesama penonton sepakbola di stadion, interaksi dalam wawancara kerja, interaksi antara penjual dan pembeli, dan sebagainya.
  
2.2 Peran pada Lansia
Sama seperti orang berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan baru demikian juga dengan kaum lansia. Dalam kebudayaan dewasa ini, dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai, mengakibatkan orang lansia sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Karena mereka tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang tertentu dimana kriteria nilai sangat diperlukan, dan sikap sosial terhadap mereka tidak menyenangkan.
Lebih jauh lagi, orang lansia diharapkan untuk mengurangi peran aktifnya dalam urusan masyarakat dan sosial. Demikian juga dengan dunia usaha dan profesionalisme. Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia, dan karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih dilakukannya.
Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi kaum lansia, pujian yang mereka hasilkan dihubungkan dengan peran usia tua bukan dengan keberhasilan mereka. Perasaan tidak berguna dan tidak diperlukan lagi bagi lansia menumbuhkan perasaan rendah diri dan kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses penyesuaian sosial seseorang.

2.2.1 Peran dalam Keluarga
     Kehidupan dalam keluarga pada usia lanjut yang merupakan hal yang paling serius adalah keharusan untuk melakukan perubahan peran. Mereka semakin sulit dari tahun ketahun. Semakin radikal perubahan tersebut dan semakin radikal perubahan tersebut dan semakin berkurang prestise peran tersebut, maka semakin besar pula penolakan terhadap perubahan.
Pria atau wanita yang telah terbiasa dengan peran sebagai kepala keluarga akan menemukan kesulitan untuk hidup bergantung dirumah anaknya. Seperti juga halnya dengan pria yang memperoleh kedudukan dan prestise serta tanggung jawab dalam dunia kerjanya, merasa akan sulit menghadapi fakta sebagai pembantu istrinya apabila sudah pensiun. Peran ini dirasakan akan menghilangkan otoritas dan kejantanannya
2.2.2 Peran dalam Sosial Ekonomi
Walaupun mereka sudah mempersiapkan diri untuk pensiun, tetapi lansia menghadapi masalah yang oleh Erikson disebut krisis identitas (identity crisis), yang tidak sama dengan krisis identitas yang dihadapi dimasa dewasanya, pada waktu mereka kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak dan kadang-kadang sebagai orang dewasa. Krisis identitas yang menimpa orang setelah pensiun adalah sebagai akibat untuk melakukan perubahan peran yang drastis dari seseorang yang sibuk dan penuh optimis, menjadi seorang pengngangur yang tidak menentu. dan lebih lebih lanjut lagi bahwa perubahan terhadap kebiasaan dan pola yang sudah mantap yang telah dilakukan sepanjang hidup yang pernah dialaminya, sering mengakibatkan perasaan yang traumatik bagi lansia.

2.2.3 Peran dalam Sosial Masyarakat
Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Orang tua diharapkan untuk menyesuaiakan diri dengan menurunkan kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan didalam maupun diluar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan untuk menganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu dikala masih muda dahulu.
Bagi beberapa lansia berkewajiban mengikuti rapat yang meyangkut kegiatan sosial dan kewajiban sebagai warga negara sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan yang menurun setelah mereka pensiun. Akibat dari menurunnya kesehatan dan pendapatan, maka mereka perlu menjadwalkan dan menyusun kembali pola hidup yang sesuai dengan keadaan saat itu, yang berbeda dengan masa lalu.
2.3    Masalah Kesehatan Jiwa Lansia
Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6)
Peningkatan penduduk lansia pada dasarnya merupakan dampak positif dari pembangunan. Pembangunan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menurunkan angka kematian dan meningkatkan usia harapan hidup. Namun, di sisi lain pembangunan secara tidak langsung juga berdampak negatif melalui perubahan nilai-nilai dalam keluarga yang berpengaruh kurang baik terhadap kesejahteraan lansia.
Ada tiga dampak pembangunan yang berpengaruh kurang baik terhadap kesejahteraan lansia. Pertama, peningkatan prevalensi migrasi desa-kota. Kedua, meningkatnya aktivitas ekonomi wanita dan yang terakhir adalah perubahan sistem perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Hal ini selanjutnya menyebabkan terjadinya pemisahan/ keluarnya penduduk lansia dari struktur keluarga. Tiga bentuk pemisahan lansia dari struktur keluarga tersebut adalah ;

1.     Spatial Separation
Peningkatan prevalensi migrasi desa-kota, menyebabkan banyak penduduk lansia yang ditinggal oleh keluarganya. Meningkatnya mobilitas penduduk yang pada umumnya dilakukan oleh penduduk usia muda menyebabkan banyak penduduk lansia tidak dapat lagi menjadi satu dengan keluarga (spatial separation). Kondisi semacam ini jelas sangat menyulitkan untuk tetap menyantuni orang tua mereka pada usia lanjut.
2.     Cultural Separation
            Pembangunan juga berdampak pada peningkatan pendidikan wanita. Peningkatan pendidikan akan menyebabkan nilai waktu wanita di luar rumah akan lebih tinggi. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan, termasuk mengurus orang tua. Selain pendidikan wanita, peningkatan pendidikan generasi muda secara keseluruhan dan juga akibat kemajuan komunikasi menyebabkan terjadi perbedaan nilai budaya yang cukup tajam antara penduduk usia muda dan lanjut usia. Perbedaan tersebut akan mengakibatkan kesulitan untuk menggabungkan keduanya dalam satu kehidupan.
Fenomena ini disertai perubahan bentuk keluarga dari keluarga luas menjadi keluarga inti. Dalam suatu keluarga luas, beban sosial dan ekonomi keluarga dapat ditanggung bersama antara orang tua dan anak. Sementara itu, dalam usia lanjut, tugas perawatan orang tua dapat dilakukan oleh anak. Akan tetapi, dalam keluarga inti hal semacam itu telah berubah sama sekali akibat terjadinya perges-eran fungsi sosial dan ekonomi. Peran anak di bidang sosial seperti membantu pekerjaan rumah tangga, akan digantikan oleh orang lain, biasanya pembantu. Demikian juga dalam menemani dan merawat orang tua yang lanjut usia. Peran tersebut tidak lagi dilakukan oleh anak tetapi akan diambil alih oleh institusi atau pemerintah. Apabila hal ini yang terjadi maka lansia pada akhirnya bukan lagi bagian dari suatu keluarga.
3.     Economic Separation
Bersamaan dengan proses pembangunan, sistem perekonomian akan mengalami perubahan dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Peranan orang tua yang tinggi dalam ekonomi secara tradisional, akan berkurang dalam masyarakat modern. Hal ini disebabkan angkatan kerja muda dengan pendidikan lebih baik lebih mampu menyesuaikan diri dengan teknologi baru dan akan mempunyai penghasilan yang lebih baik dari orang tuanya. Peningkatan mobilitas vertikal telah menyebabkan perubahan sikap perilaku dan aspirasi mereka terhadap aspek-aspek sosial budaya dan bahkan ekonomi. Hal ini diperkirakan telah menyebabkan berkurangnya rasa tanggung jawab untuk menyantuni keluarga pada usia lanjut. Dilihat dari segi ekonomi, ada kecenderungan bahwa rumah tangga sebagai a unit of production shared telah berubah. Terlihat adanya pemilahan produksi antargenerasi, bahkan cenderung ke antarindividu. Hal ini jelas akan menyebabkan penduduk lanjut usia akan mengalami kesulitan dalam ekonomi.
Selain itu dalam masyarakat modern peranan orang tua sebagai sumber pengetahuan dan kebijaksanaan telah berkurang. Dalam masyarakat tradisional, peranan orang tua sangat penting dalam meneruskan pengetahuan secara lisan kepada anaknya. Dalam era modern, pengetahuan disalurkan melalui institusi-institusi formal seperti sekolah, perpustakaan, dan mass media. Oleh karenanya para orang tua merasa kehilangan rasa keintiman dan hubungan antar individu dalam keluarga, sehingga mereka merasa diasingkan.
Berkaitan dengan semua perubahan-perubahan tersebut, status orang tua juga mengalami perubahan yang berarti. Status orang tua yang tinggi dalam masyarakat dengan sistim keluarga luas, akan cenderung rendah pada masyarakat dengan keluarga inti. Status penduduk tua cenderung tinggi di masyarakat pertanian, akan rendah di masyarakat industri
Berdasarkan hal tersebut terlihat perubahan yang terjadi menyebabkan berkurangnya peran dan status lansia dalam keluarga. Selain itu juga mulai terlihat hilangnya bentuk-bentuk dukungan sosial-ekonomi secara tradisional.

2.4    Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1.     Penurunan Kondisi Fisik
            Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2.     Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
            Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
1. Gangguan jantung
2. Gangguan metabolisme, misal diabetes mellitus
3. Vaginitis
4. Baru selesai operasi : misalnya prostatektom
5. Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
6. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer, serta
7. Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
·        Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
·        Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya
·        Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
·        Pasangan hidup telah meninggal
·        Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb
3.     Perubahan Aspek Psikososial
            Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia (lihat artikel MemahamiTipe Kperibadian Lansia)sebagai berikut:
1)     Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2)     Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3)     Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4)     Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5)     Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
4.     Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
            Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
5.      Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
            Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya   ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.


2.5    Permasalahan Sosial terkait Kesejahteraan Lansia
  Berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan Lanjut Usia,  antara lain sebagai berikut :
1. Permasalahan Umum

                        a.    Masih besarnya jumlah Lajut Usia yang berada dibawah garis kemiskinan.
                        b.    Makin melemahnya nilai kekerabatan, sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dan dihormati, berhubung terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah pada bentuk keluarga kecil.
                        c.    Lahirnya kelompok masyarakat industri, yang memiliki ciri kehidupan yang lebih  bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien, yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lanjut usia.
                       d.    Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut usia dan masih terbatasnnya sarana pelayanan dan fasilitas khusus bagi lanjut usia dengan  berbagai bidang pelayanan pembinaan kesejahteraan lanjut usia.
                        e.    Belum membudaya dam melembaganya kegiatan pembinaan kesejateraan lanjut usia
2.  Permasalahan Khusus
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1998), berbagai permasalahan khusus yang berkaitan dengan kesejahteraan lanjut usia adalah sebagai berikut:
                        a.    Berlangsungnya proses menjadi tua, yang berakibat timbulnya masalah baik fisik, mental maupun sosial. Mundurnya keadaan fisik yang menyebabkan penuaan peran sosialnya dan dapat menjadikan mereka lebih tergantung kepada pihak lain.
                        b.    Berkurangnya integrasi sosial Lanjut Usia, akibat produktivitas dan kegiatan Lanjut Usia menurun. Hal ini berpengaruh negatif pada kondisi sosial psikologis mereka yang merasa sudah tidak diperlukan lagi oleh masyarakat lingkungan sekitarnya.
                        c.    Rendahnya produktivitas kerja lanjut usia dibandingkan dengan tenaga kerja muda dan tingkat pendidikan serta ketrampilan yang rendah, menyebabkan mereka tidak dapat mengisi lowongan kerja yang ada, dan terpaksa menganggur.
                       d.     Banyaknya lanjut usia yang miskin, terlantar dan cacat, sehingga diperlukan bantuan dari berbagai pihak agar mereka tetap mandiri serta mempunyai penghasilan cukup.
                        e.    Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan masyarakat individualistik, sehingga Lanjut Usia kurang dihargai dan dihormati serta mereka tersisih dari kehidupan masyarakat dan bisa menjadi terlantar.
                         f.    Adanya dampak negatif dari proses pembangunan seperti dampak lingkungan, polusi dan urbanisasiyang dapat mengganggu kesehatan fisik lanjut usia

2.6    Asuhan Keperawatan Lansia
A.   Pengkajian Keperawatan
1.     Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
2.     Orang-orang terdekat
Status perkawinan, kebiasaan pasien di dalam tugas-tugas keluarga dan fungsi-fungsinya, pengaruh orang terdekat, proses interaksi dalam keluarga.
3.     Kultural
Latar belakang etnis, tingkah laku mengusahakan kesehatan (sistem rujukan penyakit), nilai-nilai yang berhubungan dengan kesehatan dan keperawatan, faktor-faktor kultural yang dihubungkan dengan penyakit secara umum dan respons terhadap rasa sakit, kepercayaan mengenai perawatan dan pengobatan.
4.     Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain, tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen.
5.     Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan ,harapan orang tua yang tidak realistis ,kegagalan /frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami ,putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan ,dituduh KKN, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
6.     Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhafisik yang dialami oleh klien
7.     Aspek Psikososial
a.       Genogram yang menggambarkan tiga generasi
b.      Konsep diri;
1)     Citra tubuh :
2)     Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh. Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
3)     Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan
4)     Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah, PHK.
5)     Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
6)     Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.
c.       Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga sosialdengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat.
d.      Keyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
8.     Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
9.     Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang lain ( lebih sering menggunakan koping menarik diri)
10. Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor,therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
B.    Diagnosa Keperawatan
1.     Harga diri rendah berhubungan dengan merasakan/mengantisipasi kegagalan pada  peristiwa-peristiwa kehidupan.
2.     Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan sistem saraf; kehilangan memori; ketidakseimbangan tingkah laku adaptif dan kemampuan memecahkan masalah.
3.      Ansietas berhubungan dengan krisis situasional/maturasional.
4.     Ketidakpatuhan berhubungan dengan sistem penghargaan pasien; keyakinan kesehatan,nilai spiritual, pengaruh kultural.
C.    Rencana Keperawatan
1. Intervensi Diagnosa 1:
                               a.        Dorong pengungkapan perasaan, menerima apa yang dikatakannya.
Rasionalnya: membantu pasien/orang terdekat untuk memulai menerima perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi/gaya hidup.
                               b.        Bantu pasien dengan menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin di perlukan untuk dilepaskan atau dirubah.
Rasionalnya: memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan; meningkatkan orientasi realita.
                               c.        Berikan informasi dan penyerahan ke sumber-sumber komunitas.
Rasionalnya: memungkinkan pasien untuk berhubungan dengan grup yang diminati dengan cara yang membantu dan perlengkapan pendukung, pelayanan dan konseling.
2. Intervensi Diagnosa 2:
                               a.        Kaji munculnya kemampuan koping positif, misalnya penggunaan teknik relaksasi keinginan untuk mengekspresikan perasaan.
Rasionalnya: jika individu memiliki kemampuan koping yang berhasil dilakukan dimasa lampau, mungkin dapat digunakan sekarang untuk mengatasi tegangan dan memelihara rasa kontrol individu.

                               b.        Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin dimiliki pasien
Rasionalnya: membantu mengidentifikasi dan membenarkan persepsi realita dan memungkinkan dimulainya usaha pemecahan masalah.
3. Intervensi diagnosa 3:
                                   a.                        Pahami rasa takut/ansietas
Rasionalnya: perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk terbuka sehingga dapat mendiskusikan dan menghadapinya.
                                   b.                        Kaji tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat ansietas.
Rasionalnya: respon individu dapat bervariasi tergantung pada pola kultural yang dipelajari. Persepsi yang menyimpang dari situasi mungkin dapat memperbesar perasaan.
                                   c.                        Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini dan apa yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas.
Rasionalnya: menyediakan petunjuk untuk membantu pasien dalam mengembangkan kemampuan koping dan memperbaiki ekuilibrium.
4. Intervensi diagnosa 4:
                                   a.                        Tentukan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
Rasionalnya: memberikan wawasan mengenai pemikiran/faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi individu.
                                   b.                        Kepercayaan akan meningkatkan persepsi pasien tentang situasi dan partisipasi dalam regimen keperawatan.
                                   c.                        Kaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
Rasionalnya: adanya keluarga/orang terdekat yang memperhatikan/peduli dapat membantu pasien dalam proses penyembuhan.
D.   Implementasi
1. Intervensi Diagnosa 1:
                               a.        Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya..
                               b.        Membantu untuk menjelaskan pada pasien hal-hal yang mungkin perlu dirubah.
                               c.        Memberikan informasi dan penyerahan ke sumber-sumber komunitas.
2. Intervensi Diagnosa 2:
                               c.        Melakukan tindakan untuk memunculkan mekanisme koping.

                              d.        Memperbaiki konsep yang dimiliki pasien ke arah yang benar.
3. Intervensi diagnosa 3:
                                  d.                        Memahami rasa takut/ansietas pasien.
                                   e.                        Melakukan tindakan tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat ansietas.
                                    f.       Memotivasi pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini dan apa yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong dan ansietas.
4. Intervensi diagnosa 4:
                                  d.                        Mengarahkan ketentuan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
                                   e.       Meningkatkan kepercayaan akan meningkatkan persepsi pasien tentang situasi dan partisipasi dalam regimen keperawatan.
                                    f.                        Mengkaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
E.    Evaluasi
1.  Pasien mampu mengidentifikasi adanya kekuatan dan pandangan diri sebagai orang yang mampu mengatasi masalahnya.
2.  Pasien mampu menunjukkan kewaspadaan dari koping pribadi/kemampuan memecahkan maslah.
3.  Pasien mampu melakukan relaksasi dan melaporkan berkurangnya ansietas ke tingkat yang dapat diatasi.
Pasien dapat menunjukkan pengetahuan yang akurat akan penyakit dan pemahaman regimen pengobatan